KabarNet

Aktual Tajam

Tanah Dirampas Sampai Ditelantarkan Advokat

Posted by KabarNet pada 12/02/2010

Hidup Sebagai Transmigran. Bermodalkan Rp 250 ribu yang didapatnya setelah menjual pemutar VCD, Ibu Endang Purwa Sutri Ningsih (Ibu Endang), nekad datang ke Jakarta. Dengan menumpang bus ALS, pada 18 Januari 2010, Ibu Endang berangkat dari Jambi ke Jakarta seorang diri demi mencari keadilan, karena menantunya ditangkap Kepolisian Resor Muaro Jambi pada 19 Oktober 2009. Tahun 1995, janda berumur 49 tahun ini beserta keluarganya menjadi anggota transmigrasi dari tempat asalnya, kemudian ditempatkan di Desa Adipura Jambi, bersebelahan dengan suku Anak Dalam Jambi. Suku Anak Dalam biasa juga disebut Suku Kubu, merupakan suku minoritas di Sumatera yang populasinya tak lebih 200.000 kepala keluarga. Semakin hari kehidupan mereka makin terpinggirkan, karena hutan mereka justru dirampas orang lain.

Ibu Endang sehari-harinya bekerja sebagai petani, pekerjaan yang lazim dilakukan oleh para transmigran. Program transmigrasi pada saat itu merupakan program pemindahan penduduk terbesar di dunia yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia, yang saat itu Soeharto sebagai Presiden.

Karena telah lama hidup berdampingan, antara transmigran dengan suku Anak Dalam sering tukar menukar barang. Menantu Ibu Endang, Suhrawardi alias Iwan, pada 15 Maret 2004 membeli tanah ladang seluas 17 hektare (mereka menyebutnya sebagai ganti rugi) dari seorang Suku Anak Dalam bernama Ali Sanggup. Tanah tersebut ditukar Suhrawardi dengan memberikan 1 unit sepeda motor Supra Fit baru ditambah dengan uang tunai sebesar Rp 1 juta kepada Ali Sanggup.

Untuk mengusahai tanah miliknya, Iwan sampai berutang sejumlah uang belasan juta rupiah kepada Koperasi Unit Desa (KUD) setempat. Bahkan istrinya, anak Ibu Endang menggadaikan Surat Keputusan pengangkatan PNS dirinya untuk memperoleh modal mengusahai tanah tersebut, yang akhirnya ditanami pohon sawit, pohon duren dll.

Tanah Dirampas, Pemiliknya Pun Ditahan
Pada tahun 2005, datang PT Sungai Bahar Pasifik di Desa Tanjung Lebar Kec. Sungai Bahar, Kb. Muaro Jambi membuka lahan perkebunan dengan HGU yang terbit pada 20 September 2005 seluas 2.521 hektare. Tahun 1996 adalah pertama kali PT. Sungai Bahar Pasifik datang ke Kabupaten Muaro Jambi, mereka merampas banyak lahan milik Suku Anak Dalam. Kemudian diantaranya ada yang diberi ganti rugi sebesar Rp 500 ribu per hektare (1 KK rata-rata memiliki 2 Ha).

Sebenarnya ada sekitar 79 KK yang mendapatkannya, namun di Surat Daftar Warga Yang Mendapat Ganti Rugi Tanah tertanggal 4 Desember 2005 di PT. Sungai Bahar Pasifik terdapat 97 KK, termasuk nama Iwan di tertulis di dalamnya. Diduga PT. Sungai Bahar Pasifik memalsukan 18 tanda tangan orang kelebihannya.

Pada 6 Desember 2008, datang Asisten Kepala PT. Sungai Bahar Pasifik, 3 (orang) oknum Polisi, dan seorang petugas dari BPN bernama Yenpi Haryanto bin Sukri melakukan pengukuran di lahan Iwan dan Slamet. Hasil ukur yang mereka lakukan, lahan Iwan adalah 15,3 hektare, sedangkan Slamet luasnya 7,7 hektare dan keduanya dimasukkan ke HGU PT. Sungai Bahar Pasifik. Proses pengukuran ini dilakukan tanpa diketahui Camat.

Setelah pengukuran tersebut, PT. Sungai Bahar Pasifik menawar harga lahan Iwan dengan harga Rp 500.000,-/meter yang sudah diukur seluas 15,3 hektare, padahal lahan milik Iwan luasnya 17 hektare. Terhadap tawaran PT. Sungai Bahar Pasifik Iwan menolak, karena dia memang tidak ingin menjualnya. Setelah penawarannya ditolak, Iwan justru dilaporkan PT. Sungai Bahar Pasifik kepada Polres Muaro Jambi pada 23 Juli 2008 dengan tuduhan pengrusakan, penguasaan lahan tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 21 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang dilakukan pada Januari 2007.

Pada 12 Januari 2009 terbit peta nomor 01/2009, hasil pengukuran yang dilakukan PT. Sungai Bahar Pasifik pada 6 Desember 2008. Peta ini menyatakan bahwa lahan Iwan masuk ke dalam lahan PT. Sungai Bahar Pasifik.

Atas laporan PT. Sungai Bahar Pasifik kepada Polisi, pada 19 Oktober 2009, Iwan ditangkap Polres Muaro Jambi (Surat Perintah Penangkapan No. Pol: SP.Kap/244/X/2009/Reskrim) dan kemudian ditahan melalui surat Perintah Penahanan No. SP.Han/46/X/2009/Reskrim sejak 20 Oktober 2009 s.d 2 November 2009.

Kemudian berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sengeti. Kejaksaan pun melakukan penahanan terhadap Iwan sejak 2 November 2009 s.d 21 November 2009.

Ditelantarkan Advokat Ketika Persidangan
Persidangan pertama kali dilaksanakan pada 2 November 2009 dengan Jaksa Penuntut (JPU) bernama Adhysatria, SH. JPU mendakwa Iwan ”telah melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun/aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 21 jo. 47 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan. Atas perbuatannya yang didakwakan, Iwan dituntut 6 bulan penjara oleh JPU.

Ibu Endang berusaha mencarikan advokat yang mau mendampingi proses persidangan menantunya. Setelah bersusah payah dengan tawar menawar tarif, akhirnya Ibu Endang menemui seorang advokat yang berkantor di Jalan Rang Kayo Hitam, Jambi.

Setelah tanggal 9 November 2009 menandatangani surat kuasa, Iwan resmi memiliki Penasehat Hukum untuk mendampinginya di persidangan. Sesuai kesepakatan, Ibu Endang membayar kedua Pengacara tersebut sebesar Rp7 juta, dengan dua kali pembayaran dan Rp 500.000,- tiap kali sidang. Harga yang cukup mahal bagi seorang petani.

Pada proses persidangan, Iwan hanya 6 kali didampingi Penasehat Hukumnya, yaitu selama pemeriksaan saksi, kemudian Iwan ditinggalkan. Uang sebesar Rp3,5 juta dan Rp500 ribu tiap sidang sudah dibayarkan mertuanya. Ketika Ibu Endang menanyakannya kepada Advokat tersebut, sang Advokat justru menjawab: “Laporkan saja ke Polisi saya tidak takut, saya tunggu laporannya ibu”. Jawaban ini diterima langsung melalui pesan singkat di ponselnya, ia pun langsung menangis.

Advokat tersebut mulai meninggalkan kliennya ketika di sebuah persidangan, dia tidak mau mengikutinya karena ketika Ibu Endang dimintanya menyerahkan ”Surat Pelimpahan Hak/Ganti Rugi” yang asli (isinya menerangkan tentang penjualan tanah 17 Ha dari Ali Sanggup kepada Iwan) Ibu Endang tidak mau karena Advokat tersebut tidak bersedia memberikan tanda terima atas penyerahan ”Surat Pelimpahan Hak/Ganti Rugi” yang asli tersebut. Ibu Endang menolak memberikannya tanpa tanda terima karena dia takut surat yang satu-satunya bukti kuat tersebut justru akan dijual kepada PT. Sungai Bahar Pasifik.

Ditelantarkan Penasehat Hukumnya, Terdakwa Iwan tetap tegar menjalani sidang. Sempat sekali setelah sidang, mertua Iwan menemui Hakim dan memohon kepada Hakim: ”Apakah boleh saya membela menantu saya? Dia tidak salah Pak Hakim”, sang Hakim pun menjawabnya: “boleh bu, asal ibu punya surat dari kepala desa yang menerangkan bahwa dia menantu ibu.” Akhirnya mertua Iwan diizinkan duduk di kursi Penasehat Hukum, namun tetap tanpa sepatah kata pun boleh keluar dari mulutnya.

Mencari Keadilan di Jakarta
Merasa putus asa atas perlakuan seluruh penegak hukum di Jambi, Ibu Endang berangkat menuju Jakarta pada 18 Januari 2010 naik bus ALS, turun di Cilegon.
Sesampainya di Jakarta pada 22 Januari 2010 wanita berumur 49 tahun ini terpaksa menginap di Masjid-masjid yang berbelas kasih kepadanya. Dia sempat menginap di Masjid Indosiar, Masjid Ancol dan terakhir Masjid di Dephut belakang Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah 10 hari di Jakarta dia mencoba mencari keadilan, dia ingin sekali melaporkan Polisi yang menangkap menantunya, melaporkan PT. Sungai Bahar Pasifik karena telah merampas tanah menantunya, serta melaporkan Advokat yang telah meninggalkan menantunya.

Karena kunjungannya ke Jakarta, dia tidak dapat menyaksikan dua persidangan terakhir menantunya.

Menantu Ibu Endang pada 28 Januari 2010 telah diputus bersalah oleh Majelis Hakim yang memeriksanya dan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dipotong masa tahanan. Iwan sudah menjalani penahanan selama 3 (tiga) bulan 15 hari, sehingga Iwan hanya akan menjalani penjara selama 15 (lima belas) hari setelah Putusan Hakim.

Kamis, 4 Februari 2010 Gedung DPR saat ratusan buruh berdemo, Ibu Endang bertemu dengan Robi Semen, lalu diantarkannya Ibu Endang ke Yayasan LBH Indonesia di Jalan Diponegoro 74.

Keesokan harinya, dengan mengenakan jilbab abu-abu motif kembang dan baju yang entah sudah berapa hari melekat di tubuhnya, wanita 49 tahun ini mengadu ke YLBHI tentang kasus yang menimpa menantunya. Dia menceritakannya panjang lebar dengan suara sendu dan pelan sambil sesekali meneteskan air mata.

Saat ini justru Ibu Endang semakin tidak mengerti, karena istri dari Iwan yang tak lain adalah anaknya justru meminta agar Ibu Endang tidak melakukan apa-apa (seperti melapor ke Polisi atau upaya lain). Ibu Endang memaksakan diri pergi ke Jakarta hanya ingin agar lahan menantunya dikembalikan, menantunya dikeluarkan dari penjara, dan Advokat yang mengkhianati menantunya ditindak tegas.

Andi Muttaqien
Yayasan LBH Indonesia
(Primair)

4 Tanggapan to “Tanah Dirampas Sampai Ditelantarkan Advokat”

  1. Lagi-lagi yang punya duit yang menang, rupanya mereka yang bersentuhan hukum secara langsung lebih mencintai uang setan, selalu rakyat sebagai sapi perahnya! Sampai kapan, ayo kita angkat masalah ini kepermukaan!

  2. dimana kau prita sekarang, uangmu untuk apa ? bantulah Ibu tersebut untuk mencari keadilan

  3. Anonim said

    Dasar pengacara murahan, serakah, rakus,, advokat tidak bermoral,, sudah dibayar tidak bertanggung jawab,, mau jadi apa jambi kalau punya lembaga hukum lebih rendah dari pada gelandngan di jalan,, mudah mudahan allah swt mwmbalas keburukan para calon penghuni neraka dan buat ibu bnyak bersabar dan senantiasa berdoa memhon pertolongan dari allah swt dalm setiap permaslahannya,, aminn

  4. Bustamil said

    mencari keadilan sebidang tanah dengan bangunan rumah diatasnya
    semua ini berawal dari perceraian kedua orang tua saya,sebelum perceraian orang tuaku kami tinggal di rumah yg skrg telah dijual ama kakak tiriku.sedangkan kenyataannya pemilik rumah itu adalah ibuku,krna akte jual beli rumah kami atas nama ibuku cuma pada waktu orang tuaku bercerai ayahku mengambil akte jual beli tanah itu dan ayahku beralasan nanti anak udah dewasa baru aku kembalikan aktenya.dari perceraian ini aku dan adikku ikut ama ibuku dan ayahku tetap tinggal drumah kami…
    ibuku pulang kekampung halamannya di bone dan ayahku tetap tinggal di makassar…
    dgn berjalannya waktu sesudah tamat sekolah menengah pertama aku melanjutkan sekolah menengah atas di makassar dan aku pun tinggal dirumahku kebetulan rumah ini dijaga sama tante aku dari ayahku memang sewaktu aku tinggal dirumah ini sering aku dengar klau rumah ini mau dijual tapi tidak bisa terjual tanpa sepengetahuan dari ibuku.
    singkat aja rumah ini jelas klau ibuku pemilik sah rumah ini,cuma yg membeli rumah kami ini orang yg berduit. sampai kami melapor ke polsek makassar sebanyak 3 kali dan tanggapan dari polisi mengatakan klau tanah itu memang milik ibuku tetapi nggak ada kemajuan sampai skrg,sampai pengurusan tanah ini kami hutang kesana kemari baik sanak saudara maupun dari koperasi sampai ibuku terlilit hutang kadang aku bertanya dimana kami mengadukan nasib kami sedangkan waktu orang yg ingin membeli tanah kami tetangga pada berkata bahwa pemilik rumah itu bukan ayahku tetapi ibuku..aku kasihan ama ibuku yg dimasa tuanya masih ingin mempertahankan haknya apalah dayaku akupun hanya orang biasa yg tdk memiliki jabatan dan pangkat itupun aku korbankan masa studiku buat ibuku
    Ibuku yg mencari keadilan mohon belas kasihnya supaya diberi bantuan hukum tanpa biaya karna skrg kami tdk memiliki apa-apa lagi
    kami memiliki semua bukti2 mengenai kepemilikan rumah kami …
    kami harap bantuannya secepatnya..

Komentar "PILIHAN" akan diambil menjadi artikel KabarNet.