KabarNet

Aktual Tajam

Koruptor Bukan Lagi Penjahat

Posted by KabarNet pada 29/04/2010

ENAK betul menjadi koruptor di Indonesia. Negara melalui aparaturnya sibuk dengan berbagai upaya pemanjaan terhadap mereka. Semakin besar uang negara yang dirampok, semakin penting dan terhormat para perampok itu diperlakukan. Mereka, para koruptor itu–entah dengan kekuasaan, entah dengan uangnya–menikmati seluruh privilese untuk memuaskan nafsu keserakahan. Mereka mengikat uang dan kekuasaan dalam sebuah jejaring persiasatan yang sekarang dikenal dengan mafia. Ketika mereka kemudian ditangkap dan diperiksa, mereka kembali menikmati privilese itu. Diperiksa di ruang khusus, oleh penyidik khusus, dan keluar masuk melalui pintu khusus pula.

Kalau mereka sial, masuklah ke penjara. Tetapi di sana mereka menikmati pula keistimewaan. Tidak dicampur dengan penjahat lain. Kenikmatan duniawi tetap disuguhkan. Seorang Artalyta, misalnya, menyulap ruang penjara dengan uang sendiri untuk memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan yang dikehendaki.

Privilese yang dinikmati koruptor itulah menjadi salah satu sebab korupsi tidak pernah surut, bahkan bertambah dalam skala dan jumlah di tengah retorika perang terhadap korupsi. Elitisme kejahatan yang diperlihatkan negara menguburkan efek jera.

Penjara sekarang ini, terutama kepada para koruptor, telah menghilangkan banyak sekali dimensi menghukum dan diganti oleh dimensi kemanusiaan dan pemanjaan. Padahal semua tahu, tatkala seseorang dimasukkan ke dalam penjara karena kejahatan yang dilakukan, orang itu kehilangan sejumlah haknya.

Dalam rangka terus memuliakan koruptor, pemerintah mendirikan penjara khusus koruptor di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta. Penjara khusus berlantai tiga itu lebih nikmat jika dibandingkan dengan penjara yang dihuni para terhukum lainnya.

Salah satu alasan dibangun penjara khusus koruptor adalah untuk memenuhi standar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Alasan itu makin memperjelas diskriminasi negara terhadap terhukum nonkorupsi.

Bila alasan untuk memenuhi standar PBB, mengapa tidak didahulukan para terhukum kelas maling ayam yang bertumpuk-tumpuk dalam satu ruang sempit seperti barang mati?

Para koruptor itu sesungguhnya tidak membutuhkan prioritas pemenuhan standar PBB karena di penjara yang diurus dengan semangat korup, para koruptor dengan uangnya tetap bisa membeli dan membayar kenikmatan dan kenyamanan. Semua orang tahu itu.

Korupsi akan sulit diperangi selama negara tidak memiliki komitmen menghukum seberat-beratnya para koruptor. Indonesia sekarang sedang mengubah persepsi terhadap koruptor dari penjahat menjadi pahlawan. Korupsi tidak lagi diperlakukan sebagai kejahatan, tetapi kebajikan.

Selama penjara tidak memperlihatkan aspek sebagai lembaga yang menghukum dan menakutkan, selama itu kejahatan terutama korupsi tidak akan surut. Celakanya, negara justru ngotot memelihara elitisme kejahatan.

Koruptor Semakin Terhormat

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menepis keraguan publik tentang ketidakseriusan lembaga itu menangani skandal Bank Century seperti yang telah direkomendasikan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hampir tiga bulan lalu. KPK telah mengirim surat kepada Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dua pejabat yang menjadi sentral dari penelusuran DPR tentang skandal Century. Boediono dan Sri Mulyani pun mengaku telah menerima surat KPK itu. Dalam pekan ini keduanya siap diperiksa. Tidak semata untuk menjawab tentang kelangsungan rekomendasi DPR, tetapi untuk menjelaskan semuanya secara terang benderang, jujur, dan transparan.

KPK, lembaga yang terkenal keras dalam penegakan hukum, terutama dalam penanganan kasus korupsi, memberi keringanan kepada Boediono dan Sri Mulyani soal tempat pemeriksaan. Keduanya diizinkan untuk diperiksa di luar Gedung KPK.

Sri Mulyani dan Boediono akhirnya memilih diperiksa di kantor masing-masing. Sebuah keistimewaan yang tentu saja mengundang protes dari berbagai kalangan.

Ketika skandal Century diselidiki Pansus Angket DPR, seluruh pejabat yang diduga mengetahui atau terlibat dalam kasus tersebut datang ke DPR. Termasuk Boediono dan Sri Mulyani.

Kini, giliran KPK memeriksa keduanya, mengapa itu harus dilakukan di kantor masing-masing? Sangat tidak elok bila Boediono dan Sri Mulyani sebagai pejabat tinggi negara mendapatkan keistimewaan untuk diperiksa di kantor mereka atau di tempat lain selain di KPK. Cara itu akan merendahkan reputasi dan kredibilitas semua pihak, baik Boediono dan Sri Mulyani maupun KPK sendiri.

Boediono dan Sri Mulyani, meskipun merupakan pejabat tinggi negara yang sangat penting, tetaplah berkedudukan sederajat dengan warga negara yang lain di hadapan hukum. Karena itu, keduanya harus menunjukkan sikap kenegarawanan mereka dengan datang ke KPK, dengan menghormati KPK, seperti ketika mereka datang dan menghormati Pansus Angket Century di DPR, beberapa waktu lalu.

Sebelum dan seusai pemeriksaan, keduanya sebaiknya juga masuk dan keluar dari pintu depan. Jangan dari pintu-pintu rahasia yang luput dari pemantauan publik. Jangan pula ngacir ketika dimintai keterangan oleh pers. Karena melalui pers, publik membutuhkan penjelasan dari anda berdua, sejelas-jelasnya dan segamblang-gamblangnya.

KPK sendiri juga harus mampu menjaga dirinya sendiri sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang kredibel. Jangan sampai ikon KPK yang bersih dan ditakuti koruptor luruh gara-gara memberikan perlakuan istimewa kepada Boediono dan Sri Mulyani.

Apa pun yang terjadi, dalam menegakkan hukum KPK harus mampu menunjukkan sikap independen dan berwibawa kepada siapa pun, tidak terkecuali wakil presiden dan menteri keuangan.

Karena itu, tempat terbaik untuk memeriksa Boediono dan Sri Mulyani adalah di KPK. Tidak semata karena di KPK tersedia seluruh infrastruktur pemeriksaan, tetapi juga sekaligus wujud dari penghargaan kita semua sebagai warga negara tentang kesamaan derajat di mata hukum.

Salah satu penyebab korupsi yang merajalela di Tanah Air adalah privilese kepada koruptor. Semakin besar jumlah yang dikorupsi dan semakin tinggi pejabat yang melakukannya, semakin terhormat mereka. (EDITORIAL MI)
______________

Republik Koruptor

Beberapa aspek penting sebagai harapan terhadap pemerintahan baru ini adalah, pertama, pada sektor kehidupan sosial-politik harus dibangun suasana yang kondusif yang lebih dinamis, transparan dan demokratis. Bukan saling “membunuh” (character assasination) satu sama lainnya. Agenda demokratisasi harus selalu dikawal oleh rakyat dan pemerintahan baru, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Demokratisasi menjadi syarat mutlak bagi pembangunan sosial kebangsaan. Demikianpun juga demokratisasi harus menjadi spirit bagi terlaksananya otonomi daerah yang sesungguhnya, karena sejatinya otonomi daerah adalah adanya otonomisasi rakyat bukan otonomi pemerintah di daerah. Jargon otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia diseluruh negeri, harus dibuktikan dengan adanya regulasi peran serta rakyat dalam pemerintahan. Rakyat bukan hanya sebatas menjadi obyek pemerintah.

Kedua, Pada aspek penyelenggaraan negara harus dibangun prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (clean and good governance). Paradigma state oriented yang selama ini mengisi otak para penyelenggara negara harus dirubah menjadi public oriented. Mereka (pejabat publik) menjadi penyelenggara negara bukan untuk mengabdi kepada perseorangan ataupun kekuasaan, melainkan mereka harus mengabdi kepada rakyat. Paradigma state oriented yang selama ini terbangun selalu melahirkan penyimpangan dan penyelewengan (corrupt) yang kemudian nyaris menjadi simbol dari perilaku pejabat publik bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang lumrah.

Bahkan pada sisi lain perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat publik-birokrat telah bergeser menjadi simbol sosial, bahwa dengan tindakan korup mereka bisa mengatur kekuasaan bahkan dapat mengatur sebuah nasib kehidupan manusia. Realitas sosial ini memang sangat ironis, padahal 100 % para penyelenggara negara menganut agama dan seluruh agama yang ada di Indonesia tidak menghalalkan korupsi.

Ketiga, Pada aspek sosial budaya harus dibangun adanya persamaan dan kemitraan dengan berlandaskan pada pembangunan moralitas bangsa. Dalam pembangunan budaya bangsa, pemerintahan baru harus membuat beberapa agenda stimulan bagi terciptanya budaya yang humanis, beradab dan punya rasa malu, ketika telah melakukan kesalahan. Hal ini penting, karena pembangunan sosial-budaya bangsa ini, harus dijadikan titik tolak untuk melakukan perbaikan disemua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terjadinya dekadensi moral telah menghasilkan krisis multidimensi di Indonesia. Salah satu bentuknya adalah menjadi koruptor-maling tidak lagi malu bahkan seolah-olah menjadi trend, atau ada pejabat yang salah memakai kebijakannya juga tidak merasa malu, demikianpun juga ketika rakyat melihat fenomena diatas, rakyat mengatakan sudah biasa. Kini, sesuatu yang salah tetapi kemudian menjadi biasa-lumrah maka akhirnya menjadi kebiasaan. Bahkan tidak sering diklaim sebagai budaya yang dianggap benar dan masuk akal. Dengan demikian kemudian terbangun persepsi bahwa perilaku korupsi dianggap budaya. Kenyataan-kenyataan inilah yang kemudian menjadikan bangsa Indonesia sangat permisif terhadap sesuatu yang salah, karena sudah terlanjur dianggap biasa. Sehingga koruptorpun dianggap biasa, bukan dianggap musuh bahkan dinggap teman. Sehingga tidak salah kalau kemudian negeri ini dianggap sebagai republik koruptor! Wallahu a’lam bisshawab.

Komentar "PILIHAN" akan diambil menjadi artikel KabarNet.