KabarNet

Aktual Tajam

Al Arabiya dan Pemelintiran Fatwa Syeikh Al-Buthi

Posted by KabarNet pada 19/04/2013

Oleh: Umar Hamdan

Meski Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi telah meninggalkan kita, namun pemikiran beliau dan kajian mengenai pandapat beliau baik yang tertulis dalam buku beliau maupun yang dipublikasikan situs resmi ataupun dari nukilan media akan terus dikaji oleh para penuntut ilmu. Dan memang di sinilah salah satu perbedaan antara ulama dengan yang bukan, ulama tetap “hidup” mesti telah lama wafat.

Dengan demikian mengkaji validitas fatwa-fatwa yang dipublikasikan media yang dinisbatkan kepada Syeikh Said Ramadhan Al Buthi adalah hal yang lumrah dilakukan, bahkan penulis memandang hal ini amat perlu dilakukan. Tidak masalah jika media menukil fatwa dengan valid, masalahnya jika yang terjadi sebaliknya, sehingga ratusan ribu, atau jutaan pembacanya berpeluang jatuh dalam persepsi salah baik terhadap fatwa maupun muftinya. Inilah yang sudah terjadi berkenaan dengan Syeikh Al Buthi dan fatwa beliau.***

Pemotongan Fatwa Al Arabiya

Pada 25 Juli 2011, Al Arabiya melansir dalam situsnya sebuah berita yang berjudul, ”Pembakaran Kitab-Kitab Al Buthi di Dir Az Zour Pasca Fatwanya yang Membolehkan Sujud di Atas Gambar Al Assad”. Berita ini sendiri dikomentari 1171 komentar yang kebanyakan isinya adalah celaaan terhadap Syeikh Al Buthi. Hal ini menunjukkan bahwa berita yang dilansir Al Arabiya ini memperoleh perhatian besar dari para pembacanya. Bahkan situs-situs berita harian lainnya dalam mempublikasikan hal ini juga “copy-paste” dari situs yang disebut-sebut sebagai situs berita dunia Arab yang paling banyak dikunjungi versi ABC ini, hingga pemberitaannya semakin gencar dan meluas.

Dalam berita itu, Al Arabiya menulis, ”Dr. Al Buthi Ketua Jurusan Akidah dan Agama-Agama dalam Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus telah memfatwakan shalat di atas gambar Basyar Al Assad dalam rangka menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya melalaui situs Nashim Al Sham. Dan Al Buthi menyatakan dalam fatwa yang bernomor 15449 dalam rangka menjawab pertanyaan seorang penanya dari wilayah Douma yang bertanya mengenai dosa yang diperoleh mereka, setelah pihak aparat memaksa mereka sujud di atas foto Basyar,’Anggap gambar Basyar sebagai alas…lalu sujudlah di atasnya’”. Dari nukilan Al Arabiya itu, orang bisa jatuh pada kesimpulan bahwa Syeikh Al Buthi membolehkan atau memerintahkan sujud di atas gambar Al Assad secara mutlak.

Mari kita bandingkan nukilan fatwa oleh Al Arabiya itu dengan sumber aslinya, fatwa 15449 dalam situs Nashim Al Sham yang dikeluarkan pada 10 Juli 2011. Dalam fatwa yang berjudul Innama Al A’malu bi An Niyat (Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya) itu didahuli dengan pertanyaan, ”Kami tinggal di wilayah Douma, pihak aparat belum menyerbu, sedangkan Syabihah wilayah ini memasuki rumah-rumah, termasuk rumah kami. Dan mereka memaksa kami untuk sujud kepada foto Presiden Basyar Al Assad. Sebagai informasi, kami tidak mengikuti demonstrasi apapun terhadap pemerintah karena takut pembunuhan. Dan kami telah bersujud untuk foto itu. Apakah kami berdosa dan apakah wajib bagi kami membayar kafarah. Dan untuk Anda, saya ucapkan terima kasih dan penghormatian. Dan kami meminta kepada Anda untuk mendoakan kami, agar Allah menjauhkan kesedihan dari kami dan dari Suriah yang kami cintai.”

Merespon pertanyaan itu, maka Syaikh Said Ramadhan Al Buthi menjawab, ”Sebagai jawaban dari pertanyaanmu yang singkat itu, aku manyatakan kepadamu, anggaplah foto Basyar yang diletakkan di atas tanah sebagai alas, berdirilah di atasnya kemudian sujudlah di atasnya kepada Allah. Maka, Allah menulis untukmu pahala sujud kepada-Nya, sebagai ganti dari kekufuran”.

Nah, ketika membaca fatwa Syeikh Al Buthi secara lengkap maka kita bisa memperoleh kesimpulan bahwa selama sujud di atas foto Basyar Asad bukan untuk sujud kepada foto itu, namun hanya untuk alas dan sujud kepada Allah maka pelakunya memperoleh pahala sujud kepada Allah, namun jika tidak demikian, dalam artian sujud dilakukan kepada foto, bukan kepada Allah, maka hal itu adalah perbuatan kufur.

Fatwa lain Syeikh Al Buthi yang bernomor 24079 yang bertanggal 5 Oktober 2011 juga membahas masalah yang hampir serupa. Dalam fatwa yang berjudul, ”Hukum Shalat di Atas Gambar” itu Syeikh Al Buthi menjawab, ”Gambar yang menjadi bagian dari makhluk hidup seperti kepala atau anggota lainnya, dimana jika ia tidak hidup jika hakiki, maka hukumnya seperti hukum gambar makhluk yang tidak bernyawa, maka tidak mengapa. Dan shalat di atas alas atau sajadah yang ada gambar pohon atau sesuatu yang serupa hukumnya dengannya seperti ukiran atau bunga maka hukumnya khilaf al aula (lebih utama untuk ditinggalkan). Dan lebih utama sesuatu yang dijadikan alas shalat tidak terdapat bentuk maupun gambar, hingga orang yang shalat tidak tertuju pikirannya kepadanya (Imam Az Zarkasyi menyebutnya dalam I’lam As Sajid fi Ahkam Al Masajid).”

Kemudian Syeikh Al Buthi melanjutkan, ”Dengan berpijak dengan hal itu, maka sesungguhnya yang menghadap Allah dengan shalat atau sujud, maka sesungguhnya shalatnya sah apapun keadaan alasnya ataupun baju yang dipakai, meski apa pun gambar atau bentuk di atasnya, selama shalatnya untuk Allah Azza wa Jalla. Bahkan kalau sekiranya ketika orang yang shalat dipaksa untuk sujud di atas alas yang ada foto seseorang, maka sujudnya kepada Allah benar dan memperoleh pahala atasnya.”

Jadi, ada beberapa masalah di sini, ketika seseorang itu shalat atau sujud kepada Allah, alas apapun yang dipakai maka hal itu tidak masalah, meski lebih utama menggunakan alas yang tidak bergambar. Namun ketika seseorang itu sujud tidak kepada Allah, namun kepada obyek yang dijadikan alas maka hal itu adalah kekufuran, sebagaimana dijelaskan dalam fatwa sebelumnya.

Bahkan Syeikh Al Buthi tidak cukup dengan fatwa yang ditujukan kepada mereka yang dipaksa. Setelah mengetahui adanya poster Basyar yang cukup lebar dan sekelompok pemuda diseru bersujud di atasnya beliau segera mendatangi Basyar Al Asad dengan membawa juga poster Basyar untuk menyampaikan pendangan beliau. Basyar Al Assad pun menyampaikan, bahwa ia tidak menyuruh melakukan itu. Syeikh Al Buthi pun menjawab, ”Itu saja tidak cukup, harus ada pernyataan yang didengar rakyat dari lisan Anda”. Kisah pertemuan ini sendiri disampaikan Syeikh Al Buthi di Universitas Damaskus pada 21 atau 22 Juli 2011 dan disiarkan oleh Al Akhbariyah As Suriah.

Dalam hal ini, di saat tidak ada pihak yang berani dan maju mengingatkan Basyar, baik dari para ulama negara semisal mufti negara, mufti wilayah ataupun mereka yang berada di Kementerian Perwakafan atau ulama-ulama yang diluar lembaga negara, Syeikh Al Buthi yang maju mendatangi Basyar Al Assad untuk menyampaikan pendangannya.

Dan peristiwa itu sendiri tidak dilansir media besar semisal Al Arabiya ini meski terjadi beberapa hari sebelum pemberitaannya mengenai, ”Pembakaran Kitab-Kitab Al Buthi di Dir Az Zour Pasca Fatwanya yang Membolehkan Sujud di Atas Gambar Al Asad”, dengan fatwa yang telah dipotong itu.

Karena menjadi rujukan banyak orang, khususnya di dunia Arab, sikap Al Arabiya yang demikian mempengaruhi para pembacanya, hingga tidak heran jika banyak juga pembaca Timur Tengah yang masih mengira bahwa Syeikh Al Buthi sesat akidahnya, karena mereka memandang bahwa beliau memerintahkan atau membolehkan sujud untuk foto Basyar, bukan kepada Allah. Hingga setelah Syeikh Al Buthi dibunuh dengan keji pun berbagai macam celaan, makian dan tuduhan diluapkan untuk ditujukan kepada ulama sepuh ini meski beliau telah wafat.

Hasbunallah wa Ni’mal Wakil…

Penulis adalah Alumnus Fak. Syari’ah Al Azhar Mesir. [KbrNet/Hidayatullah.COM]

UCAPAN SYEIKH AL-BUTHI TERKAIT SUJUD DI ATAS GAMBAR AL ASAD

3 Tanggapan to “Al Arabiya dan Pemelintiran Fatwa Syeikh Al-Buthi”

  1. Paulus Nabi Palsu said

    Masya Allah,

    sungguh sangat bahaya pengaruh media ini di dalam memutarbalikan fakta dan menyebarkan fitnah sehingga menimbulkan opini yg menyesatkan dan merugikan kehormatan orang lain.

    Wahai saudara2x muslim sekalian, sadarlah kita semua jgn terlalu mudah percaya kepada berita2x yg berisi propaganda dan jgn terlalu taklid dgn fatwa ulama latah yg memang sudah subjektif tidak objektif sudah tertanam kebencian kpd faham yg lain belum tau informasi yg komprehensif sdh berani memfatwakan se seorang kafir apalagi seorang ulama. Hal ini sejalan firman allah dalam al qur’an sbb :

    Wahai orang yg beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik yg membawa suatu berita maka selidiki dulu oleh kamu kebenaranya sebelum kamu mengambil tindakan atas suatu kaum lalu membuat kamu menyesal yg disebabkan kejahilan kamu. (QS al hujurat 6)

    Dari ayat diatas Allah swt telah memerintahkan kita agar berhati2x thd berita agar tidak terjadi fitnah dan dapat merugikan orang lain apalagi fitnah yg dapat memecahbelah dan terjadi perang saudara sesama muslim seperti yg terjadi ketika perang jamal dan shiffin yg menelan byk korban umat islam.

    Dan bagi media2x islam yg bekerja unt orang kafir dgn menyebarkan fitnah dan propaganda memecah belah islam sehingga terjadi gejolak dan pertumpahan darah bagi kalian ancamanya seperti hadisth rasulullah sbb :

    Diriwayatkan dari at thabrani rasulullah ketika malam isra’ mikraj melihat sekumpulan manusia yg menggunting bibir dan lidah mereka berulang2x dan bertanya kepada malaikat jibril “wahai jibril, apakah yg telah mereka lakukan ?” Jibril menjawab, ” mereka adalah para penyebar fitnah”

    Makanya ada pepatah mengatakan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan

    Oleh karena itu sadarlah kalian jgn taklid x sm ulama su’ (ulama cinta dunia)

    Gitu aza kok repot

  2. hasbi said

    Ajaran ulama Muhammad bin Adbul Wahhab atau ajaran Wahabi disebarluaskan oleh pemerintah dinasiti Saudi afiliasi dari Zionis Yahudi Amerika sedangkan Zionis Yahudi Amerika pendukung Zionis Yahudi Israel

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya,’ Wahai kafir ‘maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun bila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya. “(HR Muslim).

    Pangikut ajaran Wahabi memang tidak mengatakan “wahai kafir” namun mereka mengatakan bahwa kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta’ala dengan bertawassul pada Wali Allah dan orang sholeh adalah termasuk perbuatan musyrik.

    Begitupula kaum muslim yang melakukan ziarah kubur sambil berdoa kepada Allah ta’ala di sisi kuburan dengan bertawassul pada Wali Allah dan orang sholeh adalah termasuk perbuatan musyrik dan diberi julukkan kuburiyyun (penyembah kuburan) sebagaimana contoh yang dapat kita ketahui dari syarah Qawa’idul ‘Arba karya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang ditulis oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada http://mutiarazuhud.files. wordpress.com/2012/03 / pemahaman-tauhid-maw.pdf

    Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat bahwa yang dilarang adalah meyakini orang ditawassuli atau di-istighotsahi bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah “berikut bunyi nasehatnya,

    “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat , kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin. ”

    Para pengikut ajaran Wahabi, mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna dibalik yang tertuls atau makna di balik yang tersurat

    Oleh karena mereka mengingkari makna majaz maka mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

    Misalnya mereka salah memahami hadits seperti

    Dari Aisyah radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda dalam sakitnya yang menyebabkan dia tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’ (HR Muslim)

    Mereka menganggap kaum muslim yang berdoa kepada Allah di sisi kuburan telah menyembah kuburan karena mereka mengingkari makna majaz (kiasan) sehingga mereka mengartikan “jangan menjadikan kuburan para Nabi atau para Wali sebagai tempat beribadah meskipun beribadah kepada Allah ta’ala”

    Hadits tersebut menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani dan kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai larangan tempat sholat atau larangan tempat beribadah kepada Allah ta’ala namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni Sajada yang artinya tempat sujud.

    Jadi “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” merupakan kalimat majaz (kiasan) yang maknanya adalah “larangan menyembah kuburan”.

    Sedangkan kaum muslim yang berdoa kepada Allah di sisi kuburan bukanlah menyembah kuburan.

    Jikalau larangan “jangan menjadikan kuburan sebagai masjid” dipahami dengan makna dzahir, tentu mustahil seukuran kuburan dijadikan masjid.

    Jikalau dipahami sebagai larangan “jangan menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah”

    Tidak masalah kalau di sisi kuburan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla karena yang terlarang adalah beribadah kepada kuburan alias menyembah kuburan.

    Mereka secara tidak disadari atau secara tidak langsung telah berdusta ata nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau telah memfitnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disebabkan mereka berpemahaman dan menjelaskan (menyampaikan) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kuburan sebagai masjid dalam arti melarang kuburan sebagai tempat beribadah seperti sholat atau membaca Al Qur’an

    Mereka melarang sholat atau melarang membaca Al Qur’an di sisi kuburan maka mereka secara tidak disadari atau secara tidak langsung telah melarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang melaksanakan sholat jenazah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Fatihah yang termasuk bacaan Al Qur’an.

    حدثنا محمد أخبرنا أبو معاوية عن أبي إسحاق الشيباني عن الشعبي عن ابن عباس رضي الله عنهما قال مات إنسان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده فمات بالليل فدفنوه ليلا فلما أصبح أخبروه فقال ما منعكم أن تعلموني قالوا كان الليل فكرهنا وكانت ظلمة أن نشق عليك فأتى قبره فصلى عليه

    Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu’ anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan Anda. Maka kemudian Dia mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170)

    حدثنا يعقوب بن إبراهيم حدثنا يحيى بن أبي بكير حدثنا زائدة حدثنا أبو إسحاق الشيباني عن عامر عن ابن عباس رضي الله عنهما قال أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم قبرا فقالوا هذا دفن أو دفنت البارحة قال ابن عباس رضي الله عنهما فصفنا خلفه ثم صلى عليها

    Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair telah menceritakan kepada kami Za’idah telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari ‘Amir dari Ibnu’ Abbas radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mendatangi kuburan. Mereka berkata; Ini dimakamkan kemarin. Berkata, Ibnu ‘Abbas radliallahu’ anhuma: Maka Ia membariskan kami di belakang Beliau kemudian mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1241)

    Begitupula diriwayatkan Umar mengetahui bahwa Anas ra sholat di atas kuburan sehingga ia menginjak kuburan. Lalu Umar berkata, “Al-Qabr, al-Qabr! (Kuburan, Kuburan!) “Maka Anas ra melangkah (menghindari menginjak dalam batas kuburan), lalu melanjutkan shalatnya. [Lihat Fathul Bari Libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].

    Dalam kitab al-Muwatha ‘, Imam Malik ra menyebutkan sebuah riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang tempat penguburan jasad Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

    Sebagian sahabat berkata, “Dia kita kubur di sisi mimbar saja”. Para sahabat lainnya berkata, “dikubur di Baqi ‘saja”. Lalu Sayyidinaa Abu Bakar ash-Shiddiq ra datang dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,” Seorang nabi tidaklah dikubur kecuali di tempatnya meninggal dunia “.

    Lalu digalilah kuburan di tempat ia meninggal dunia itu “.

    Tentulah para Sahabat Nabi tidak akan mengusulkan agar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dimakamkan di sisi mimbar kalau mengetahui terlarang sholat di dekat atau di area pemakaman. Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat di atas, tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mengingkari usulan itu.

    Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Sayyidinaa Abu Bakar karena mengikuti perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam agar dikubur ditempat ia meninggal dunia. Maka, ia pun dikubur di kamar Sayyidah ‘Aisyah ra yang melekat pada masjid yang digunakan sebagai tempat shalat oleh orang-orang muslim. Kondisi ini sama dengan kondisi kuburan-kuburan para wali dan orang-orang shaleh yang ada di dalam masjid-masjid pada zaman ini.

    Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayah. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar “. (HR Ahmad).

    Begitupula dengan dengan dikuburkannya Sayyidinaa Abu Bakar Radiyallahu’anhu dan Sayyidinaa Umar Radiyallahu’anhu di tempat yang sama dengan Nabi Shallallahu alaihi wasallam yaitu kamar Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu’anha yang masih dia gunakan untuk tinggal, duduk, lalu lalang dan melakukan shalat-shalat fardhu dan sunnah serta membaca Al Qur’an. Dengan demikian, hukum kemampuan ini merupakan ijma ‘para Sahabat radhiyallahu’anhum.

    Kita sudah mengetahui tempat mustajab untuk berdoa kepada Allah ta’ala seperti Multazam, Raudah, Hijr Ismail, Hajar Aswad, Maqom Ibrahim (tempat pijakan Nabi Ibrahim Alaihisalam) dan lain lain,

    Begitupula dengan kuburan para Wali Allah termasuk tempat mustajab untuk berdoa kepada Allah ta’ala

    Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala ‘, vol. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud adalah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid …… “.

    Imam al Hafizh Abu al Faraj Abdurrahman Ibn al Jauzi (w 597 H) dalam kitabnya Sifat as Shofwah jilid 2 halaman 324, menyelenggarakan ziarah ke makam orang-orang Saleh dan Tawassul. Di halaman terseburi antara lain ditulis yang artinya sebagai berikut “Dia (Imam Ma’ruf al Karkhi) adalah obat yang mujarab, karenanya siapa yang memiliki kebutuhan maka datanglah ke makamnya dan berdoalah (meminta kepada Allah) di sana; maka keinginannya akan terkabulkan InsyaAllah. Makam beliau (Imam Ma’ruf al Karkhi) sangat terkenal di Baghdad; yaitu tempat untuk mencari berkah. Imam Ibrahim al Harbi berkata: Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab “.

    Manshuur Dawaniqi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) bertanya kepada Imam Malik bin Anas “Ketika aku mau berdoa, apakah aku harus menghadap ke kiblat atau ke arah kuburan Nabi shallallahu alaihi wasallam?”

    Imam Malik menjawab, “Mengapa harus membelakangi Nabi shallallahu alaihi wasallam (karena kalau menghadap kiblat harus membelakangi Nabi shallallahu alaihi wasallam) sementara ia adalah perantaramu-wasilah kepada Allah-dan perantara ayahmu Adam as sampai hari kiamat. Menghadaplah ke makam Rasul shallallahu alaihi wasallam karena Tuhan menerima syafaat beliau. Karena Ia telah berfirman: ‘Dan kalau mereka yang berbuat aniaya itu-melakukan dosa-datang kepadamu-Muhammad-dan meminta ampun kepada Allah, dan RasulNyapun memintakan ampunan untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapatkan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih. ”

    Imam Ahmad dengan sanad yang baik (hasan) menceritakan dari Al-Mutthalib bin Abdillah bin Hanthab, dia berkata: “Marwan bin al-Hakam sedang menghadap ke arah makam Rasulullah-shallallahu alayhi wa sallam-, tiba-tiba ia melihat seseorang sedang merangkul makam Rasulullah. Kemudian ia memegang kepala orang itu dan berkata: ‘Apakah kau tahu apa yang kau lakukan?’. Orang tersebut menghadapkan wajahnya kepada Marwan dan berkata: ‘Ya saya tahu! Saya tidak datang ke sini untuk batu dan bata ini. Tetapi saya datang untuk sowan kepada Rasulullah-shallallahu alayhi wa sallam-‘. Orang itu ternyata Abu Ayyub Al-Anshari-radliyallahu anhu-. (Diriwayatkan Imam Ahmad, 5; 422 dan Al-Hakim, 4; 560)

    Siyar A’lam an-Nubala ‘, vol. 12, cet. 14, tentang biografi Imam al-Bukhari (penulis kitab Shahih); beliau adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari, dalam menceritakan tentang wafatnya. simak tulisan adz-Dzahabi berikut ini: “Abu ‘Ali al-Gassani berkata:” Telah mengabarkan kepada kami Abu al-Fath Nasr ibn al-Hasan as-Sakti as-Samarqandi; suatu ketika dalam beberapa tahun kami penduduk Samarqand merasa musim kemarau, banyak orang ketika itu telah melakukan shalat Istisqa ‘, namun hujan tidak juga turun. Kemudian datang seseorang yang dikenal sebagai orang saleh menghadap penguasa Samarqand, ia berkata: “Saya punya pendapat maukah engkau mendengarkannya? Penguasa tersebut berkata: “Baik, apa pendapatmu?”. Orang saleh berkata: “Menurutku engkau harus keluar bersama segenap manusia menuju makam Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak, engkau berdoa meminta hujan di sana, dengan begitu semoga Allah menurunkan hujan bagi kita”. Sang penguasa berkata: “Aku akan kerjakan saranmu itu”. Maka keluarlah penguasa Samarqand tersebut dengan orang banyak menuju makam Imam al-Bukhari, banyak sekali orang yang menangis di sana, mereka semua meminta tolong kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak sekitar tujuh hari, tidak ada seorangpun dari mereka yang dapat pulang ke Samarqand karena banyak dan derasnya hujan. Jarak antara Samarqand dan Kharatnak sekitar tiga mil ”

    Para Sahabat, bertawassul dan bertabarruk ke makam Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu katsir dalam kitab tanggalnya 7/105: “Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu Nashar bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-orang mengalami kekeringan panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” (Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik adalah Malik Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintahan Umar, ia adalah tsiqoh)

    Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fathul Bari juz 2 pada kitab aljumah bab sualun nas al imam idza qohathu “, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih As Saman dari Malik Ad Daar seorang bendahara Umar. Ia berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa datanglah kepada Umar dst .. dan laki2 itu adalah Bilal bin Haris al Muzani”.

    Kaum muslim dapat bertabarruk yakni berdoa kepada Allah di sisi kuburan para wali Allah dengan berwashilah (berperantara) amal kebaikan berupa hadiah bacaan untuk ahli kubur sebelum inti doa yang akan dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla.

    Ada pihak yang menyebarluaskan potongan pendapat Imam Syafi’i ~ rahmahullah bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat sehingga pendapat tersebut menjadi pendapat masyhur

    Latar belakang Al Imam Syafi’i ~ rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~ rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.

    Ketentuan sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan praktek kamu.” (HR Muslim 4651).

    Kata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz: “Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).

    Al Imam Syafi’i ~ rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari kondisi berikut

    1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
    2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
    3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit

    Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab:

    أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض

    “Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian Ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok- kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa pada pengertian ketika pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an ketika diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah “. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).

    Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj:

    قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

    “Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian saat pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al- Haitami [7/74].)

    Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu (Misykat) dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Swt. Jadi yang ditawassulkan adalah amal kebaikan berupa hadiah bacaan untuk ahli kubur sebelum inti doa yang akan dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla.

    Imam Nawawi berkata

    قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن, وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا

    “Imam Syafi’i rahimahullah berkata:” disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus “(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya .

    قال الشافعى: وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت

    Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping Qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” (Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)

    Imam Ahmad kembali mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju ‘

    قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك, قال الحافظ بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه

    al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping Qubur, maka ia berkata; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari’ Abdurrahman bin al -Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, ketika aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al- Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata: kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping Qubur, maka Ahmad berkata kepadanya; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping Qubur adalah bid’ah “. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad: “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il? “, Ahmad berkata: tsiqah, Ibnu Qudamah berkata: engkau menulis sesuatu darinya?”, Ahmad berkata: Iya. Ibnu Qudamah berkata: sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdurrahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan ketika dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata: aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.

    Abdul Haq berkata: telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar-radliyallahu’ anhumaa-memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman

    Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi: “Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)

    Mereka tetap keukeuh (bersikukuh) bahwa terlarang sholat, membaca Al Qur’an atau berdoa kepada Allah di sisi kuburan yang ditimbulkan karena mereka salah memahami hadits Rasulullah seperti

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kuburan”

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR Muslim)

    Kedua hadits tersebut bukanlah pelarangan sholat atau membaca Al Qur’an di sisi kuburan.

    Sabda Rasulullah yang artinya “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” adalah kalimat majaz yang maksudnya adalah “jangan rumah kalian sepi dari (tidak dipergunakan untuk) sholat maupun membaca Al Qur’an”.

    Marilah kita simak pendapat para ulama terdahulu.

    Imam Baidhowi dalam kitab Syarh Az-Zarqani atas Muwaththo ‘imam Malik berkata:

    قال البيضاوي: لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا لعنهم الله, ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه, أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه, ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم, ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته.
    والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

    Imam Baidhawi mengatakan: “Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya.

    Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian Hathim?? Kemudian Masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya. Pelarangan sholat di kuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena ada najis “(Kitab syarh Az-Zarqani bab Fadhailul Madinah)

    Imam Baidhawi memungkinkan membuat masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.

    Dan beliau menghukumi makruh sholat di pemakaman yang ada bongkaran kuburnya karena dikhawatirkan ada najis, jika tidak ada bongkarannya maka hukumnya dapat, tidak makruh.

    Menurut imam Baidhawi larangan yang bersifat makruh tanzih tersebut, bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya. Dia memperjelasnya dengan kalimat:

    لما فيها من النجاسة

    Huruf lam dalam kalimat tersebut bermanfaat lit ta’lil (menjelasakan alasan). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.

    Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Dia mengatakan:

    وقد زعم قوم أن فى هذا الحديث ما يدل على كراهية الصلاة فى المقبرة وإلى المقبرة, وليس فى ذلك حجة

    “Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini”.

    Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan alias menyembah kuburan.

    Imam Az-Zarqani dalam kitab Syarh Muwaththo’nya berkata ketika mengomentari makna Masajid dalam hadits Qootallahu berikut:

    (اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد) أي اتخذوها جهة قبلتهم مع اعتقادهم الباطل, وأن اتخاذها مساجد لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه, وقدم اليهود لابتدائهم بالاتخاذ وتبعهم النصارى فاليهود أظلم

    “(Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid / tempat sujud) yang dimaksud adalah mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat mereka dengan aqidah mereka yang bathil. Dan menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid melazimkan untuk menjadikan masjid (tempat sujud) di atas kuburan seperti sebaliknya. Dalam hadits di dahulukan orang Yahudi karena mereka lah yang memulai membuat kuburan sbgai masjid kemudian diikuti oleh orang nashoro, maka orang yahudi lebih sesat “.

    Kemudian setelah itu beliau menukil ucapan imam Baidhawi tersebut. Dan setelahnya beliau berkomentar:

    لكن خبر الشيخين كراهة بناء المساجد على القبور مطلقا, أي: قبور المسلمين خشية أن يعبد المقبور فيها بقرينة خبر: “اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد” فيحمل كلام البيضاوي على ما إذا لم يخف ذلك

    “Akan tetapi Hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim tersebut menunjukkan kemakruhan membangun masjid di atas kuburan secara muthlaq, yaitu kuburan kaum muslimin karena ditakutkan penyembahan pada orang yang dikubur, dengan bukti hadits” Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah. Maka ucapan imam Baidhawi tersebut diarahkan jika tidak khawatir terjadinya penyembahan pada orang yang disembah “.

    Imam Ath-Thibiy dalam kitab Mirqah al-Mafatih syarh Misykah al-Mashobih berkata:

    : قال الطيبي: كأنه – عليه السلام – عرف أنه مرتحل, وخاف من الناس أن يعظموا قبره كما فعل اليهود والنصارى, فعرض بلعنهم كيلا يعملوا معه ذلك, فقال: (لعن الله اليهود والنصارى): وقوله: (اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد): سبب لعنهم إما لأنهم كانوا يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيما لهم, وذلك هو الشرك الجلي, وإما لأنهم كانوا يتخذون الصلاة لله تعالى في [ص: 601] مدافن الأنبياء, والسجود على مقابرهم, والتوجه إلى قبورهم حالة الصلاة; نظرا منهم بذلك إلى عبادة الله والمبالغة في تعظيم الأنبياء, وذلك هو الشرك الخفي لتضمنه ما يرجع إلى تعظيم مخلوق فيما لم يؤذن له, فنهى النبي – صلى الله عليه وسلم – أمته عن ذلك لمشابهة ذلك الفعل سنة اليهود, أو لتضمنه الشرك الخفي, كذا قاله بعض الشراح من أئمتنا, ويؤيده ما جاء في رواية: (يحذر ما صنعوا)

    Ath-Thibiy berkata “Seakan-akan Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengetahui bahwa ia akan meninggal dan khawatir ada beberapa umaatnya yang mengagungi kuburan beliau seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nashara. Maka Nabi mngucapkan kata laknat, agar umatnya tidak melakukan itu pada kuburan Nabi Shallallahu alaihi wasallam sehingga Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro” dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam “Mereka telah menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud mereka .

    Alasan adanya pelaknatan, adakalanya mereka konon sujud pada kuburan para nabi sebagai bentuk pengagungan pada nabi mereka, dan inilah bentuk kesyirikan yang nyata. Dan adakalanya mereka membuat sholat di kuburan para Nabi, sujud pada kuburan mereka dan menghadap kuburan mereka saat sholat, karena mengingat ibadah pada Allah dengan hal semacam itu dan berlebihan di dalam mengagungi para nabi, dan hal ini merupakan bentuk kesyirikan yang samar, karena mengandung pada apa yang kembali akan pengangungan makhluk yang tidak ditoleran ileh syare’at.

    Maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya dari melakukan hal itu karena menyerupainya pada kebiasaan orang Yahudi. Atau mengandung syrirk yang samar sebagaimana dikatakan oleh sebagian dosen hadits dari para imam kita. Yang menguatkan hal ini adalah kalimat riawayat berikut “Nabi Shallallahu alaihi wasallam memberi peringatan agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro”.

    As-Syaikh As-Sanadi dalam kitabnya Hasyiah As-Sanadi berkomentar tentang maksud hadits di atas sebagai berikut:

    ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيما أو بجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها, قيل: ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركا غير ممنوع

    “Yang dimaksud hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wasallam memperingatkan umatnya agar tidak berbuat dengan makam beliau sebagaimana orang Yahudi dan Nashoro berbuat terhadap makam para nabi mereka berupa menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Baik sujud pada kuburan dengan rasa ta’dzhim atau menjadikannya sebagai qiblat yang ia menghadap padanya diwaktu shalat atau semisalnya. Ada yang berpendapat bahwa seamata-mata menjadikan masjid di samping makam orang sholeh dengan tujuan mendapatkan keberkahan, maka tidaklah dilarang “(Hasyiah As-Sanadi juz 2 hal / 41)

    Dari komentar para ulama di atas dapat kita tangkap bahwa illat, manath, motif atau alasan pelaknatan Nabi Shallallahu alaihi wasallam kepada orang yahudi dan nashoro adalah adanya penyembahan pada kuburan, mereka menjadikan kuburan sebagai tempat sujud, mereka menjadikan kuburan sebagai sesembahan sehingga ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah SWT.

    Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kuburan. Umat ​​Islam membangun kuburan hanya untuk memuliakan ahlul Qubur (terlebih kubur orang yang sholeh), menjaga kuburan dari hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kuburan di tengah-tengah ribuan kuburan lainnya, juga sebagai tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikannya.

    Kaum muslim yang berziarah kubur sambil berdoa kepada Allah di sisi kuburan atau berdoa kepada Allah dengan bertawassul kepada ahli kubur yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) disisiNya adalah beribadah kepada Allah bukan meminta pertolongan atau menyembah atau beribadah kepada ahli kubur.

    Kaum muslim sangat paham dan sangat yakin bahwa yang mengabulkan doa mereka dan memberikan pertolongan hanyalah Allah Azza wa Jalla bukan ahli kubur atau bukan pula orang yang ditawassulkan.

    Silahkan baca studi kasus para peziarah kubur pada http://mutiarazuhud.files. wordpress.com/2012/10/studi- kasus-ziarah-kubur.pdf tidak ada satupun yang menyembah kuburan.

    Silahkan pula lihat video penjelasan tentang fitnah yang merajalela seputar ziarah kubur dan tawassul pada http://www.youtube.com/watch? v = lDXulIV6q4k

  3. @ Bro Hasbi

    syukron Akhi atas tausyiahnya semoga Allah Swt meridhoi dakwah saudara.

    @ Thaifah dan orang2x yg sefaham dgn Thaifah

    Monggo ditanggapi tulisan saudara Hasbi jika memang kalian punya nyali jangan pandenya cuman menuding dan menfitnah sesama muslim aza kerjanya.

    gitu aza kok repot.

Komentar "PILIHAN" akan diambil menjadi artikel KabarNet.